News

Adolf Merckle, Miliarder yang Bunuh Diri Karena Bangkrut

“Roda selalu berputar.” Kurang lebih inilah perumpamaan yang cocok untuk menggambarkan bagaimana Adolf Merckle, seorang pengusaha Jerman, yang dahulunya menjadi salah satu orang terkaya di Jerman, kemudian jatuh miskin dan bunuh diri.

Adolf Merckle adalah CEO dari Merckle GmbH, sebuah perusahaan konglomerat yang pada tahun 2007 berhasil memperoleh pendapatan hingga 30 miliar euro atau lebih dari Rp 450 triliun. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika terjadi krisis finansial pada tahun 2008.

Krisis tersebut tidak hanya menghancurkan konglomerasi grup perusahaannya, tapi juga merenggut nyawanya. Adolf Merckle memutuskan untuk bunuh diri setelah dirinya mengalami kerugian akumulatif lebih dari 500 juta euro dan menumpuknya utang akibat kegagalan dari investasi di saat bank-bank lainnya sedang mengalami kolaps pada tahun 2008.

Walaupun demikian, ia masih mempunyai beberapa saham di HeidelbergCement (kini Heidelberg Materials) yang diwariskan ke anaknya, Ludwig Merckle. Hingga saat ini, sejarahnya menjadi pelajaran berharga tentang risiko investasi, utang piutang, dan manajemen aset di saat situasi tak terduga. Mari kita bahas lebih lengkap guys!

Baca juga: 7 Perusahaan Tertua di Dunia yang Masih Beroperasi Sampai Sekarang

Biografi Adolf Merckle

Adolf Merckle lahir pada tahun 1934 di Dresden, Jerman. Tidak banyak yang diketahui tentang riwayat pendidikannya, namun menurut beberapa berita, ia dikatakan mengikuti sekolah hukum. Keluarganya

Karier bisnisnya dimulai ketika ia mewarisi grup Merckle GmbH dari keluarganya, yang kala itu memiliki 80 karyawan. Merckle GmbH kemudian berubah menjadi kerajaan bisnis konglomerat yang menguasai lebih dari 120 anak perusahaan dan pendapatan lebih dari 30 miliar euro.

Baca juga: 5 Alasan Kenapa Starbucks Gagal di Australia

Dia dikenal sebagai pendiri dari perusahaan farmasi terkenal, Ratiopharm dan Phoenix Pharmahandel. Sampai saat ini, perusahaan farmasi tersebut masih beroperasi walaupun saham miliknya di perusahaan tersebut sangat sedikit atau bahkan tak bersisa. Dia juga terlibat atau pernah berinvestasi pada perusahaan dengan lini industri telekomunikasi, teknologi, logistik, mesin berat, dan kimia.

Adolf Merckle memiliki empat orang anak dan merupakan orang kaya raya yang low profile, dia tidak terlalu suka hidup dengan kemewahan, dan lebih menyukai atraksi pemandangan alam berupa hiking dan juga main ski.

Dia memegang saham mayoritas di banyak perusahaan, bahkan lebih dari 57% saham di Phoenix Pharmahandel yang berhasil mencetak penjualan hingga $26 miliar euro kala itu. Sahamnya perlahan-lahan mulai terkikis seiring berjalannya krisis finansial 2008 dan hanya tersisa di HeidelbergCement untuk diwariskan ke anaknya, Ludwig Merckle.

Anaknya, Ludwig Merckle juga mengikuti rekam jejak ayahnya sebagai pebisnis, setelah diwariskan saham mayoritas di HeidelbergCement, ia melakukan pengembangan besar-besaran hingga berhasil merebut kembali status “miliuner”.

Awal Mula Bangkrut

Semua bisnisnya berjalan dengan baik-baik saja sampai pada tahun 2008 ketika krisis mulai merenggut segalanya.

Baca juga: BlackRock, Perusahaan yang Menguasai Dunia

Dari sini, banyak dari kita mungkin pernah bertanya, “apakah orang terkaya bisa bangkrut?” jawabannya adalah bisa dan terjawab melalui artikel ini.

Menurut majalah TIME, awal mula terjadinya bangkrut adalah ketika terjadi krisis finansial 2008 sementara Adolf Merckle tidak siap dalam menyikapi krisis ekonomi tersebut.

Dalam sebuah statement dari keluarganya dikatakan bahwa “Situasi mencekam pada beberapa perusahaannya yang disebabkan oleh krisis finansial, diikuti oleh ketidakpastian yang terjadi, serta ketidakberdayaan darinya dalam mengambil langkah, membuat ia patah semangat sebagai pengusaha dan bunuh diri.”

Kerajaan bisnisnya mengalami penurunan saham yang sangat drastis. Tapi, alih-alih menghemat sumber daya dan bersiap untuk “musim dingin keuangan”, ia mengambil langkah yang sangat berisiko tinggi, dia bertaruh pada penurunan harga saham Volkswagen melalui mekanisme short, tapi kemudian harga saham tersebut malah melambung tinggi.

Dia sudah mencoba untuk melakukan restrukturisasi utang, tapi tetap saja langkah tersebut tidak mampu menghentikan atau meminimalisir kerugian. Lengan bisnis investasinya, VEM Vermögensverwaltung memiliki utang lebih dari $5 miliar USD.

Krisis Finansial 2008 sebenarnya disebabkan oleh ketidakmampuan borrower dalam membayar utang, dimulai dari housing bubble. Tapi, dampaknya sangat terasa signifikan oleh bank-bank lainnya di Eropa dan Amerika Serikat. Karena bank-bank ini sangat takut, ia meminta Adolf Merckle untuk membayar utang-utangnya segera, walaupun pada saat itu ia masih berusaha negosiasi restrukturisasi utangnya.

Adolf Merckle akhirnya terpaksa menjual banyak sahamnya di beberapa perusahaan miliknya. Hanya sedikit yang tersisa.

Adolf Merckle sangat putus asa atas kejadian ini, seluruh kerja kerasnya dalam membangun kerajaan konglomerasi bisnis yang besar justru hancur dalam seketika.

Utangnya tidak ada, tapi perusahaannya juga sudah bukan lagi di bawah kendalinya. Dalam situasi yang depresi ini, Adolf Merckle mengakhiri dirinya dengan menjatuhkan dirinya di depan kereta yang sedang berjalan cepat.

Ia meninggal pada 5 Januari 2009 di villa kediamannya di Blauberen, Jerman.

Baca juga: 8 Startup yang Gagal Merintis di Indonesia

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Adolf Merckle

Salah satu pelajaran berharga dari Adolf Merckle adalah manajemen risiko. Sama ketika pandemi yang terjadi pada tahun 2020, dunia dilanda dengan krisis ekonomi yang cukup signifikan.

Kali ini, industri hiburan, perhotelan, FnB, dan masih banyak lagi sangat terdampak. Tapi, di balik semua itu, ada industri yang justru meningkat sangat drastis, yaitu industri teknologi dan digitalisasi.

Poinnya adalah, kita harus bisa menganalisa risiko yang mungkin terjadi serta kemungkinan terjadinya hal-hal yang menghilangkan sumber pendapatanmu seperti PHK, bangkrut, masalah hukum, dan lain-lainnya.

Kita harus bisa mengambil langkah dengan sangat hati-hati dan pertimbangan yang matang. Jangan asal dalam melakukan investasi, gunakan prinsip manajemen risiko, serta lakukan diversifikasi aset.