Tidak banyak yang tahu bahwa tahun 2008 merupakan tahun terburuk bagi negara barat. Bagaimana tidak, institusi perbankan ternama seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, dan Washington Mutual mengalami kolaps. Bahkan dilaporkan bahwa setidaknya 61 juta orang kehilangan pekerjaan sepanjang terjadinya krisis finansial tersebut, household income atau pendapatan rumah tangga menurun drastis, dan pemulihan ekonomi baru terasa stabil dan lebih tinggi ketika melewati tahun 2016, padahal resesi hanya berlangsung 18 bulan.
Tahun terburuk itu digambarkan sebagai “the worst recession ever” oleh sejumlah media karena banyaknya efek domino yang dihasilkan sebagai akibat runtuhnya institusi perbankan dari housing bubble. Apa itu housing bubble? Housing bubble adalah sebuah fenomena dimana harga properti naik berkelanjutan tapi tidak diimbangi oleh kapasitas daya beli masyarakat, dengan demikian menyebabkan demand turun dan harga properti juga akan turun.
Baca juga: Ternyata Belanja Online Mempunyai Kekurangan
Pada tahun 2008, housing bubble terjadi dan menyebabkan beberapa institusi finansial mengalami penurunan parah akibat harga investasinya turun, apalagi dalam institusi finansial tersebut terdapat investor lainnya. Karena tingkat kepercayaan investor tahun itu berkurang, barulah efek domino terjadi dengan likuidasi dalam jumlah yang besar, kehilangan daya beli, kehilangan pekerjaan karena PHK, dan lain-lain.
Sedihnya adalah pada tahun-tahun krisis, dilaporkan ada lebih dari 5000 orang yang meninggal dunia karena bunuh diri yang disebabkan oleh kacaunya krisis finansial tersebut. Tidak terkecuali, Adolf Merkle, salah satu orang terkaya di Jerman yang bunuh diri karena mengalami kerugian drastis pada sejumlah investasinya.
Baca juga: 7 Cara Meningkatkan Produktivitas Kerja
Selain itu juga di Wall Street, sebuah jalan terkenal yang berisikan para bankir dan organisasi keuangan terbesar dunia dilaporkan kehilangan beberapa pakar keuangan mereka dalam tragedi krisis yang mengerikan tersebut, dan mereka semua bunuh diri.
Pada tahun 1920an, The Great Depression terjadi, banyak industri yang terkena dampaknya tidak hanya finansial saja. Bahkan, kenaikan suku bunga kala itu di Amerika Serikat meningkat hingga 7% yang mana bukan merupakan solusi yang efektif dalam meminimalisir dampak resesi 2008.
Kalau bisa dibilang The Great Depression tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan resesi tahun 2008. Rasio jumlah orang yang kehilangan pekerjaan jauh lebih tinggi, belum lagi menghitung kerugian yang disebabkannya. Kamu juga perlu tahu bagaimana caranya agar bisnis kebal dari resesi ekonomi.
Lantas, apa yang terjadi dengan negara atau individual yang terdampak drastis oleh fenomena ini? Kebanyakan dari mereka melakukan restrukturisasi utang sebagai upaya utama dalam memulihkan kondisi ekonomi. Restrukturisasi utang dilakukan pada individual atau organisasi yang mempunyai utang tinggi dan harus dibayarkan pada institusi finansial berbasis investasi.
Apakah tahun 2008 menjadi sebuah tahun terburuk yang masih memberikan bekas luka bagi banyak orang? Tentu saja. Karena pada tahun-tahun berikutnya, ekonomi masih belum stabil, bahkan untuk mengembalikan level pendapatan rumah tangga saja butuh waktu hingga 8 tahun di negara-negara barat.
Baca juga: Contoh 8 Startup yang Gagal Merintis di Indonesia
Beruntunglah pada tahun 2008, krisis perbankan dan finansial ini tidak terlalu membawakan dampak yang signifikan ke negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Hal ini berdasarkan riset dari jurnal Cambridge University yang menyatakan bahwa turbulensi ekonomi di tahun 2008 tidak memberikan dampak yang signifikan karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki resistansi dan persiapaan yang kuat dengan belajar dari krisis yang sebelumnya terjadi di tahun 1998.
Cadangan kas dan pemerataan aktivitas ekonomi menjadi kunci utama Indonesia bisa selamat dari krisis finansial yang terjadi. Bahkan, Indonesia adalah satu di antara tiga negara Asia lainnya yang justru mengalami pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: 5 Alasan Kenapa Starbucks Gagal di Australia
Umumnya, sektor ekspor impor terdampak cukup parah. Ekspor sumber daya alam energi dan gas ke China menurun sebanyak 22% tapi, begitu juga dengan impor yang pada saat itu dibatasi mengingat kondisi krisis. Walaupun ekspor energi dan gas menurun, tapi sektor agrikultur atau pertanian tidak begitu terdampak drastis.