Setelah sebelumnya kita membahas tentang beberapa startup yang gagal di Indonesia, pada kesempatan ini kita akan mengulas alasan kenapa startup itu bisa gagal.
Dalam sebuah statistik oleh Failory disebutkan bahwa 90% dari startup tidak berhasil alias gagal. Dan dari laporan lainnya seperti CB Insights kita bisa mengetahui bahwa kebanyakan startup hanya bertahan antara dua sampai lima tahun. Hanya sedikit yang bisa bertahan sampai 10 tahun atau lebih.
Perbedaan antara startup yang sukses dan startup yang gagal sangat signifikan. Terkadang, apa yang kita lihat di berita seperti warta funding atau pendanaan startup belum tentu membuat startup itu berhasil. Bahkan, startup yang sudah mendapatkan pendanaan besar saja bisa hancur seketika. Terbaru ini adalah Katerra, perusahaan konstruksi berbasis teknologi yang bernilai $1,5 miliar USD atau lebih dari Rp 20 triliun mengalami kebangkrutan.
Jadi, bisa dibilang dalam statistik bahwa rata-rata 90% startup gagal itu adalah suatu fakta. Kegagalan startup seolah menjadi konsumsi bulanan bagi masyarakat. Tiap tahunnya atau mungkin tiap bulannya silih berganti startup yang terlahir dan startup yang tumbang.
Menurut investopedia, startup bisa gagal dikarenakan kekurangan dana, model bisnis yang kurang tepat, kesalahan dalam memilih talenta (staf), eksekutif dan partner yang tidak sevisi, tidak adanya kebutuhan pasar, tidak mendengarkan keluhan pelanggan, kompetisi yang ketat, masalah dengan produk, dan pemasaran yang buruk. Mari kita jabarkan poin-poin berikut.
Menurut data yang dihimpun embroker, 29% kasus kegagalan startup adalah karena kehabisan dana atau suntikan modal sehingga tidak bisa menjalankan operasi bisnis dan terpaksa harus melayangkan putusan bangkrut. Ini yang jadi permasalahan utama para entrepreneur di luar sana.
Sekarang ini, perusahaan rintisan (startup) terlalu fokus pada peningkatan valuasi, sementara mereka sama sekali belum memperoleh pendapatan atau tidak memikirkan cara menembus pasar baru. Bagaimana jadinya bilamana kondisi ekonomi sedang krisis sehingga tidak ada lagi investor yang tertarik untuk menyuntik dana ke startup? Tentu saja, modal yang dikumpulkan startup dari funding series akan habis dan bisa menyebabkan kebangkrutan.
Untuk tips dan info menghadapi inflasi atau krisis ekonomi, kamu bisa baca artikel Tips Menghadapi Inflasi untuk Keberlangsungan Bisnis.
Harusnya, masalah seperti ini bisa dianulir dengan cara fokus pada perkembangan dan profitabilitas. Paling tidak, startup harus bisa self-reliant tanpa mengandalkan dana investor sehingga bisa berjalan sebagai sebuah entitas perusahaan yang memperoleh pendapatan lebih untuk keuntungan manajemen dan stafnya.
Atau kasus lainnya adalah startup yang belum juga memperoleh pendanaan, selama ini hanya mengandalkan bootstrapping atau dana kas pribadi pendiri perusahaan. Sementara itu, perusahaan selalu mengalami kerugian baik dari sisi operasionalnya maupun pendapatannya, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk memberhentikan semua layanannya alias bangkrut. Kasus seperti ini juga seringkali ditemukan dimana pendiri sangat berharap mendapatkan pendanaan padahal startupnya sendiri saja model bisnis belum jelas, pendapatan belum stabil, tapi staf atau karyawan yang direkrutnya lumayan banyak.
Menurut CB Insights, 42% alasan kegagalan startup adalah karena tidak adanya kebutuhan pasar.
Bagaimana jadinya bila kamu membuat sebuah produk yang bisa menyelesaikan masalah untuk banyak orang tetapi tidak ada kebutuhan pasar untuk itu? Tentu saja, perusahaan rintisan kamu tidak akan memperoleh pendapatan.
Contohnya sangat sederhana, misalnya kamu berusaha sangat keras untuk membangun sebuah produk yang dapat membantu orang-orang tunanetra untuk mengendarai sepeda dengan menciptakan pengendali motor sepeda ke titik lokasi berdasarkan suara. Ide ini terdengar cemerlang bukan? Tapi kembali lagi, lihatlah statistik berapa banyak orang tunanetra untuk jangkauan pasarmu. Apakah mereka akan membeli produk kamu? Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki sepeda, buat apa produkmu itu?
Lihat lagi dan analisis. Cobalah untuk validasi kebutuhan pasar terlebih dahulu. Seperti misalnya untuk jasa eCommerce Enabler dari STORE2GO, karena brand atau manufaktur membutuhkan fulfillment center yang bisa melayani all-in-one untuk program marketing mereka melalui marketplace eCommerce. Ini merupakan analisis berdasarkan validasi kebutuhan pasar.
Selain itu juga untuk kasus di atas, anggap kamu memiliki beberapa customer, apakah perusahaan bisa berkembang hanya dengan beberapa customer tersebut? Karena kebutuhan pasarnya kecil, bisa jadi model bisnis perusahaan menjadi kacau, dan ini juga bisa membuat perusahaan ventura penanam modal enggan untuk berinvestasi pada bisnis kamu.
Semua bisnis pasti mempunyai kompetitornya. Jika tidak ada kompetitor sama saja bisnis tersebut memonopoli pasar dan dalam praktiknya tidak akan diperbolehkan di negara manapun (sekalipun bisa diakali dengan perusahaan cangkang). Tapi, bagaimana jadinya apabila kompetisi menjadi terlalu ketat, tidak sehat, dan setiap bisnis kompetitor “main sikut”?
Misalnya saja, kita ingin membuka bisnis ritel kecil seperti warung, sementara jumlah warung kecil di daerah kamu dalam radius 100 meter saja sudah ada 12 warung. Bagaimana caranya kamu bisa bersaing kalau begitu? Karena pada akhirnya segmentasi konsumen akan terbagi-bagi, jatah “kue” atau omzet pendapatan kamu juga menjadi sangat terbatas.
Lakukan analisis kompetitor, apa saja yang bisa kamu kembangkan. Ujung-ujungnya adalah bisnis harus bisa bertahan melalui seleksi alam. Contoh nyatanya sudah ada di sekitar kita. Ingat waktu tahun 1998 terdapat fenomena dot com bubble burst? Kala itu banyak sekali orang yang berbondong-bondong membuka bisnis online karena menilai peluangnya yang besar, tapi berapa banyak yang berhasil sampai sekarang? Hanya sedikit. Dahulu mesin pencari ternama bukanlah Google, tapi melalui seleksi alam, Google merajai pasar mesin pencari. Intinya, jika ingin bersaing dalam ranah kompetisi yang sangat ketat, kamu harus bisa menjadi pembeda dan memiliki produk yang sangat baik untuk klien ataupun konsumen.
Baca juga: Tanda Kamu Sudah Menjadi Entrepreneur yang Baik
Waktu sebelumnya mintor mengulas tentang 8 startup yang gagal di Indonesia. Ada 2 startup yang mengubah model bisnisnya karena dinilai model bisnis awalnya salah. Seperti Brambang dari yang tadinya fokus sebagai e-grocery menjadi berjualan elektronik bekas. Kemudian ada lagi Elevenia, dari yang tadinya sebagai platform eCommerce B2C dan C2C menjadi berjualan rempah-rempah untuk ritel, resto, dan bisnis lainnya (B2B). Coba ketahui tentang Model Bisnis B2B dan Kelebihannya.
Tapi pada kenyataannya banyak sekali startup di luar sana dan di Indonesia yang mengubah model bisnisnya setidaknya sekali karena banyaknya pertimbangan oleh manajemen tentang peluang pasar. Model bisnis yang ditekuni bisa saja berubah seiring berjalannya waktu karena startup adalah dunia yang adaptatif dan dinamis. Yang terpenting fokus utama startup adalah bertahan (survival) dan menemukan model bisnis yang tepat untuk berkembang.
Sayang sekali, walaupun ada yang mengubah model bisnisnya, startup masih rentan terhadap kegagalan. Seperti contoh nyatanya adalah Elevenia yang sejak 1 Desember 2022 menutup seluruh layanannya di Indonesia setelah badai PHK dan inflasi berkepanjangan.
Startup sudah menghasilkan produk yang sangat bagus, kebutuhan pasarnya tinggi, manajemen dan eksekutif sudah solid dan satu visi, kompetisi juga tidak begitu ketat tapi tetap saja bisa gagal. Alasannya? Pemasaran yang buruk.
Pemasaran bisa diibaratkan sebagai “raja” dari segala operasi bisnis. Tanpa pemasaran yang baik, sebuah produk tidak akan bisa terjual. Lihatlah strategi kompetitor seperti apa cara mereka melakukan pemasaran. Coba gunakan media sosial untuk bisnis. Manfaatkan platform teknologi digital lainnya untuk perkembangan bisnis kamu.
Pemasaran yang baik bisa mendongkrak penjualan dan membuat perusahaan rintisan memiliki resistansi terhadap inflasi dan krisis sehingga tentu saja tidak terlalu membutuhkan dana investor. Karena rumus utamanya adalah pemasaran yang baik = peningkatan penjualan.
Itulah 5 alasan utama kenapa startup bisa gagal. Kita bisa belajar banyak dari data-data yang telah diliput dan dilaporkan oleh lembaga riset. Kesimpulannya: membuat startup tidak mudah, tapi yang paling penting adalah berusaha untuk membuat startup atau bisnis menjadi mandiri tanpa bantuan investor jauh lebih baik dibandingkan bergantung pada modal yang disetorkan investor. Kasus nyatanya seperti Zoho, platform CRM yang bisa berkembang tanpa adanya back up dari perusahaan ventura sama sekali.